Saturday, June 27, 2015

Lingkaran Anak Kecil

Lingkaran Anak Kecil

Di dalam lingkaran tiang besar, 28 Juni 2015

Di sudut Balairung yang semakin gelap. Kala itu muda-mudi asyik berbincang. Inilah masa di mana di dalamnya perlu pemimpin baru.

Mereka tidak lahir dengan sendirinya baru beberapa tahun umurnya. Tak ada yang bisa kita lakukan kecuali bercerita tentang perjuangan mati nilai kejujuran di negeri ini.

Negeri kita. Negeri masa depan generasi muda kelak. Tak banyak hal besar yang bisa kita lakukan. Negeri akan hancur dan roboh jika hanya diam saja.

Anak-anak adalah aset masa depan bangsa. Jangan isi otak mereka dengan isu-isu negatif terus. Sesekali isi dengan cerita dongeng yang indah dan disukai anak.


Mereka masih kecil. Jangan perlakukan seperti pejabat. Biarlah mereka mengisi waktu kecilnya dengan hal-hal yang mengasyikkan.

Thursday, June 25, 2015

Tantangan Generasi Etoser

Tantangan Generasi Etoser

Rangkaian kata di balik Al-Quran, 24 Juni 2015

Nafasku mulai sesak akibat udara yang tercemar kreatifitas manusia. Inilah kehidupan di mana setiap kemajuannya pasti ada dampak positif dan negatifnya.

Aku duduk di bawah pohon rambutan asrama MeJa (Mepet Jalan). Setiap saat pemandangan halaman depan tak pernah luput dari lalu lalang kreatifitas manusia.

Lama aku menunggu ketidakpastian perjalanan. Di seberang sana sudah terdengar sayup-sayup adzan mengema. Suaranya lebih dasyat dari biasanya. Mungkin ini efek Ramadhan.

Ini kali kedua aku terjebak dalam penantian kreatifitas manusia. Pertama kali waktu naik ke Sindoro. Kedua saat akan KurMa (Kunjungan Ramdhan) di rumah Sang Generasi Etos ke-1.

Setiap generasi melahirkan tokohnya sendiri. Bolehlah mereka bangga dengan menjadi Etoser Generasi ke-1. Tapi kebanggaan itu akan sinar oleh waktu.

Tantangan kehidupan tiap generasi berbeda. Aku tak mau ditantang oleh zaman yang teoritis. Aku akan membuat tantangan di mana zaman akan berubah menjadi lebih baik.

Tuesday, June 23, 2015

Akar Tanpa Akar

Akar Tanpa Akar

Bersandar di bawah pohon markisa, 23 Juni 2015

Udara siang hari terasa lebih panas dari biasa
Aku terbangun dari tidur siang
Setelah menunaikan ibadah sholat dzuhur dan baca Al-Quran
Tiba-tiba aku telah sampai di suatu tempat yang sejuk nan damai

Di kanan jalan ada sesosok pria
Dia tidak mau dipanggil ustadz
Tapi ilmu agamanya lumayan dalam
Di depan Audit Pertanian

Dia bertanya adakah tanaman yang hidup tanpa akar?
Sebuah pertanyaan yang tidak masuk akal
Itulah perumpamaan agama
Agama tanpa pondasi
Bagaikan tanaman tanpa akar

Ia memang hidup namun tak akan tumbuh subur

Monday, June 22, 2015

Rumah Joglo Sederhana

Rumah Joglo Sederhana

Menerawang impian, 22 Juni 2015

Tak terasa semester dua hampir usai. Ternyata perjalanan ini cukup panjang. Banyak hal yang kulalui. Petualangan demi petualangan semakin menantang.

Namun apa karya yang telah kuukir dalam batu kehidupan ini. Semua tempat hampir pernah kujelajahi. Tapi tak satupun membekas dalam diri.

Lamunan panjang membuat waktu telah hilang. Kehidupan terus berputar. Bagai roda kereta yang tak pernah berhenti.

Di sudut dimensi waktu terlihat sesosok pria. Ia memberi nasihat akan makna kehidupan itu kepada kami berdua.

Seusai sholat tarawih, beberapa teh hangat menunggu kami. Rasanya hangat di tengah angin Jogja yang lebih dingin dari biasa.

Sosok itu kemudian menghilang. Tinggal untaian kata yang tertinggal di telingga kami.

Kami pun pergi meninggalkan rumah Joglo yang bersejarah. Aku dan Mas Abid pernah sholat tarawih berdua di tempat itu.

Kenangan yang tak perlu ditinggalkan. Juga tak perlu diingat. Cuma perlu diambil pelajaran.

Sunday, June 21, 2015

Di Pagi Aku Berjalan

Di Pagi Aku Berjalan

Menerawang langit pagi, 21 Juni 2015...

Udara pagi tak seperti biasanya, ia terasa lebih dingin di kulit. Wajah yang penuh dosa dan noda, mesti dibasahi dengan air wudhu.

Dingin ini cuma sesaat. Tak akan berlangsung lama. Daripada terbakar api neraka kelak di akhirat, lebih baik membeku seperti es.

Di pagi ketika anak sekolah beramai-ramai menuju gerbang ilmu, aku pun demikian. Keluar untuk hijrah menuju kampus tercinta. Kampus perjuangan katanya.

Sepanjang jalan deretan kendaraan roda dua, roda empat, dan beroda-roda saling saling menyalip. Padahal suasana masih pagi. Maklumlah namanya juga hari senin.

Di tengah jalan aku berhenti sejenak sambil menikmati lampu warna-warni. Tak tahu diri ini kenapa orang-orang pada melihat lampu cantik itu.

Mungkin mereka baru lihat. Tapi tak mungkin juga. Atau barangkali mereka orang desa yang pertama kali ke kota. Ahh... Ndak penting.

Aku mengayun sepeda lumayan santai sambil menikmati pemandangan sepasang kekasih setia sampai hari kiamat. Ia tidak lain adalah Gunung Merapi dan Gunung Merbabu.

Perjalanan akan terus berlanjut sambil aku bangun dari tidur panjangku saat materi kuliah Bahasa Indonesia berlangsung.