Sunday, December 16, 2018

TEMU #11 Sang Pemantik Harapan

Langit kota Jogja dari pagi terlihat murung disertai gerimis berbentuk debu, kecil sekali. Mungkin bagi yang malas keluar rumah akan mengira di luar baik-baik saja.


Tapi aku selalu berprasangka baik terhadap langit. Bahwa ia akan cerah di siang hari atau sore hari atau malam hari.

Dan benar saja, langit malam sangat cerah. Secerah hati ini.

***

Dia adalah lelaki hebat dan inspiratif. Kelahiran Ibukota. Alumni IPB'83. Mantan HRD Astra. Pemberdaya UMKM.

Memang benar kata pepatah bahwa "kita tidak bisa menilai seseorang dari luarnya saja".

Pertemuan ini diawali karena kenakalan kami berdua. Kami berdua berada di zona merah sebuah beasiswa.

"Yaa... kalian berdua nanti temui saya atau Bu Lia setelah ini," ucap Pak Iqbal saat pembekalan magang.

Kata-kata tersebut membuat jantung berdetak lebih kencang. "Mau disidang pasti," kataku dalam hati.

* * *

Senja semakin temaram. Waktu magrib masih 1 jam lagi. Sambil menanti Pak Iqbal atau Bu Lia di Lobby.

Tiba-tiba seorang wanita menghampiriku.

"Mas-Mas bisa minta tolong benerin motorku?" tanya si wanita.

"Iyaa... aku usahakan".

Lalu kami berjalan menuju parkiran. Sambil mengamati kondisi motor. Akhirnya aku berinisiatif menyelanya.

"Bismillah... bismillah... bismillah," ucapku dalam hati seraya memohon pertolongan Allah.

Alhamdulillah keajaiban itu muncul. Dan motor bisa hidup.

"Terima kasih ya Mas," ucap wanita itu dengan senyum.

* * *

"Nanti ketemu di Lobby habis magrib," tiba-tiba pesan itu masuk.

"Iya Pak... terima kasih," balasku.

Habis magrib kami bertemu dengan Pak Iqbal di Lobby.

"Ehh... kita ngobrolnya di luar saja ya? Biar lebih enak," ajak Pak Iqbal.

"Siap Pak," jawab kami kompak.

Kami diajak makan di warung sederhana di seberang jalan kaliurang. Ini adalah sifat yang aku kagumi dari beliau. Sederhana dan tidak bermewah-mewahan.

Makan pun tidak banyak, tapi secukupnya. Minum pun teh tawar. Karena di usia tua, pola makan harus dijaga betul.

***

Pertama-tama beliau bercerita tentang kehidupan teman-teman beliau waktu SD, SMP, SMA, kuliah. Beberapa dari mereka tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik.

"Gus gimana kabar telangnya kok tiba-tiba ganti jadi emping telo?" tanya beliau.

Aku pun menceritakan seluk beluk kenapa sampai seperti itu.

"Ohh... itu kamu belum mentok ujung," sahut beliau.

"Kok bisa Pak?" tanyaku.

"Itu karena kamu baru di kulitnya saja. Belum kamu buat tuh turunannya Gus." jawab beliau.

Penjelasan yang mudah dipahami, inspiratif dan motivatif itu aku tangkap dari beliau.

Memang mempunyai seorang mentor (orang yang lebih berpengalaman) dalam hidup sangatlah penting. Karena dengan adanya mentor hidup jadi lebih terarah, tersemangati, dan terberdayai.

Tapi yang perlu diingat bahwa tugas mentor itu "menyakinkan" bahwa "Anda belum mentok", "Anda pasti bisa".

Dan selanjutnya kembali ke diri sendiri. Mau maju kedepan atau tetap diam ditempat.
.

Yogyakarta, 16 Desember 2018

No comments:

Post a Comment