Pergi Sementara dari Tanah
Para Raja
Menanam rumput di
halaman, 3 Juli 2015
Pagi ini ada yang
nampak berbeda. Aku bersemangat sekali sehingga mau datang di majlis taklim
yang cukup jauh sekitar 3 km. Telah setahun lamanya aku terpenjara di kota
pelajar. Di universitas negeri pertama di Indonesia.
Kamar rapi. Baju
bersih. Badan suci. Untuk menyambut sholat jum'at terakhirku di kota gudeg.
Banyak keragaman yang ada di sana termasuk agama.
Matahari tepat di
atas kepala. Saatnya adzan jum'at berkumandang. Kupandangi jam dinding yang
semakin cepat. Anak Etos pada antri bak mandi. Kebiasaan buruk. Mepet sukanya.
Bayang-bayang
sang surya kian tebal. Menutupi dosa-dosa manusia pribumi. Lingkungan rusak
oleh tangan-tangan mereka. Lautan dan daratan mulai resah. Apakah ini
kelakuanmu? Wahai Sang Khalifah.
Pertama aku tak
kenal siapa Beliau. Dahulu aku mengenalnya saat hari jum'at. Beliau tak lebih
dari lelaki tua yang senang menebar benih-benih kehidupan di kota Jogja.
Beliau bukan
lulusan dari perguruan tinggi yang hebat. Biasa-biasa saja. Bukan dari anak
orang kaya apalagi pintar. Biasa-biasa saja. Beliau juga harus merawat Ibunya
yang kini usianya 89 tahun.
Setiap kali Beliau
berpergian, tak akan meninggalkan Ibunya sendirian. Harus ada orang yang
menjaganya. Baru hatinya bisa tenang.
Ada puluhan
nasihat yang sering beliau wasiatkan kepadaku. Sehingga jadilah aku seperti
sekarang ini. Pemuda yang berkepribadian tangguh dan peka dengan lingkungan.
Dan kini aku
pamitan dengannya pada hari jum'at pula untuk kembali ke desa kelahirannku.
"Bangunlah desamu, saat engkau kembali kelak," itu pesan yang selalu Beliau
haturkan.
Jogja terima
kasih karena telah mengizinkan aku menapakkan kaki di tanahmu. Semoga Allah swt
melindungi kota yang indah dan nyaman ini. Setahun bersamamu, aku bangga dan
bahagia.
No comments:
Post a Comment