Sunday, January 3, 2016

Anak Jalan Bukit Jurang

Segera kami kemasi barang untuk segera bergegas pergi. Satu tas masing-masing dari kami dirasa cukup. Teriknya siang ini membuat kami sedikit gentar untuk memulai perjalanan. Namun, yah, sudahlah, tidak ada banyak pilihan bagi kami. Kami harus segera menemukan anak itu. Tim 5 orang mungkin akan mempermudah pencarian.

      Kami berangkat dengan truk dan diturunkan tepat di mana anak itu terakhir terlihat dan lantas menghilang tiba-tiba. Di tepi jalan dimana ada jurang di satu sisi, dan bukit tinggi terjal di sisi lainnya. Kami menyusun rencana tepat di tepi jala sepi tersebut, tak lupa kami tancapkan bendera oranye sebagai check point. Berlindung dibalik bayangan bukit dari panasnya matahari siang itu dengan suguhan pemandangan perkotaan yang nampak jelas dari sisi jurang.

      Kami putuskan untuk tidak berpencar mengingat minimnya pengetahuan kami tentang daerah ini dan kurangnya infrastruktur yang memadahi jika terjadi sesuatu pada kami saat tersesat. Kami membagi daerah pencarian menjadi dua, turun jurang, dan naik susuri bukit. Kami sepakat agar Nyoman menjadi pendahulu untuk turun jurang, memasang pengaman dan peralatan yang dibutuhkan, disusul dengan Fadil yang akan membawa turun semua barang-barang yang kami bawa, kemudian Christi, Yin dan aku menyusul.

      Menuruni jurang sudah kami mulai, beberapa pepohonan yang tumbuh di lahan vertikal memungkinkan anak itu tersangkut. Sehingga kami memperlebar area penjelajahan di permukaan vertikal. Butuh tenaga Ekstra, bahkan untuk tiga laki-laki sekalipun. Yin dan Christi menjaga pos pengamatan bergelantungan di tebing dengan teropong dan melihat sekeliling.

      Setelah 15 menit pencarian, Nyoman memutuskan untuk turun ke bawah memeriksa dasar jurang. Setengah jalan Nyoman turun, kami mendengar teriakan Christi. Pandanganku cepat mengarah ke arah tempat mereka bergelantungan, tidak kulihat Yin disana. Nyoman berteriak memanggil namaku. Kulihat ke arah suara Nyoman berasal, tepat di atasnya Yin tersangkut sebuah akar dan tangannya berdarah hebat. Formasi kami kacau, Fadil melempar kotak P3Knya ke arah Nyoman, dengan sigap ditangkap dan ia keluarkan apa yang perlu untuk menolong cidera yang dialami Yin. Aku rapling cepat ke arah Yin tersangkut dan segera meraih safety beltnya untuk kukaitkan. Kini dari jarak dekat aku jelas melihat bahwa pendarahan itu memang luka parah, luka terbuka di lengan kanan bawahnya.

      Suasana semakin panik, kuinstruksikan seluruh tim turun ke bawah jurang bersama semua barang-barang. Kubawa Yin turun perlahan dan kemudian diberikan pertolongan pertama oleh Nyoman. Wajah Yin nampak shock dan kesakitan, kami berikan morphin secukupnya agar rasa sakit berkurang. Namun itu beresiko mengurangi kesadarannya dan pastinya menghambat misi pencarian. Kami baringkan Yin di tandu darurat untuk kemudian berdiskusi untuk menentukan langkah selanjutnya.

      Ditengah diskusi, tanpa kami sangka Yin sudah berdiri di sisi tandu dengan teropong dan berteriak.
"Itu anaknya disana ! di bukit !". Sontak kurebut teropong Yin untuk melihat ke arah bukit, teman-teman lain juga melihat ke atas dengan teropong. Kemudian Nyoman berteriak

"Dia disana ! di sisi bukit !". Kulihat arah pandang Nyoman dan mengikuti arah pandangnya untuk melihat ke arah itu berharap anak itu terlihat. Belum sempat melihatnya, Fadil mendorong tubuhku cepat dan teropongku jatuh.

      Tubuh Fadil tertimpa sebuah batang pohon, tepat di depan mataku. Batang itu jatuh dari tepi jalan di atas jurang. Telungkup dengan batang pohon besar menindih di atas punggungnya, tubuhnya tidak terluka, namun keningnya berdarah. Evakuasi cepat kami lakukan dan pertolongan pertama dari Nyoman segera dilakukan. Mengejutkan, dengan satu tangan terluka dan teknik khusus, Yin sudah mendaki setengah lereng jurang.
"Yin !!" seru Fadil dengan nada emosi.

      Tidak ada pilihan, kami menyusul Yin yang semakin jauh ke atas. Setibanya di jalan raya terjadi pertengkaran antar kawan Yin dengan Fadil yang jelas ku abaikan. Otakku terlalu sibuk berfikir apa yang harus kami lakukan dengan suasana yang makin sore di tepi jalan ini. Christi melakukan hal yang serupa denganku, sementara Nyoman sibuk merapikan barang-barang. Dilemparkan sebuah tongkat ke arahku oleh Nyoman.

“Anak itu di atas bukit, aku melihatnya dari teropong” sembari melemparkan tongkat kedua.
“Aku juga melihatnya tadi. Sekarang kita sudah disini, yang kita bisa hanya mengejar anak itu ke atas bukit” jawab Christi sambil menggendong tas carrier nya dan mengambil satu tongkat dan bergegas mendaki bukit.

      Masih dengan wajah bertengkar dan tanpa sepatah kata, Fadil dan Yin masing-masing mengambil satu tongkat dari Nyoman dan lantas menuju ke atas bukit. Meninggalkan Nyoman yang berwajah bingung menghadapi tingkah mereka berdua yang sama-sama sedang terluka. Kutepuk pundak Nyoman dan berkata “Masih ada satu tongkat untukku dan satu untukmu. Mereka tidak bisa selamat tanpa kita berdua.” Kamipun menyusul dan turut mendaki bukit.

      Sudah lebih setengah jam kami mendaki mengikuti ingatan kami tentang posisi anak itu, kami mencoba memperlebar penyisiran dengan berjalan berjajar. Namun masih nihil juga. Sesekali kami saling menatap kiri kanan ke rekan sebelah kami namun respon mereka hanya geleng kepala. Bahkan hingga kami tiba dipuncak Bukit kami tak mendapat hasil. Nyoman dan Christi terlihat lelah dan pucat, mereka beristirahat bersandar di sebuah batu besar. Sisanya melihat sekitar dengan teropong.

      Berdiri dari sandarannya, Nyoman dan Christi bergegas menuju sebuah asap di sebelah Timur. Terlihat api kecil menyala di semak-semak. Sebagai pecinta alam, mereka mungkin berinisiatif untuk memadamkan api itu. Entah kenapa tindakan sederhana mereka menarik perhatianku dari teropong dan pengamatanku. Namun aku kembali fokus ke pengamatanku, dan terdengar suara ledakan kecil beruntun. Ternyata asap itu berasal dari bubuk mesiu yang menjadi penyulut api kecil di semak itu.

      Nyoman dan Christi terluka, luka bakar di kedua telapak tangan mereka. Segera kuambilkan Hydrocortison di medical kit dan kuoleskan pada luka mereka dan kuperban rapat dengan kasa. Sementara itu Fadil dan Yin memadamkan api yang sudah kehabisan mesiunya yang sudah meletup tak bersisa. Aku masih tak habis fikir bagaimana bisa ada bubuk mesiu di atas bukit yang hijau alami ini. Kami berkumpul melingkar dan kulihat hanya tubuhku satu-satunya yang tak diperban.

      Tiba-tiba HT berbunyi. “Regu penyelamat harap segera kembali ke basecamp, misi dibatalkan karena sudah mencapai batas tempo. Diulangi, regu penyelamat kembali ke basecamp. Ganti”. “Roger Pak, kami segera merapat” jawabku. Jelas tanpa aba-aba kami turun kembali ke jalan agar truk bisa kembali menjemput kami di tempat kami diturunkan. Menuruni bukit terasa begitu mudah dan lancar setelah semua perjuangan di lereng dan bukit tadi. Sebentar saja kami sudah bisa melihat jalan dan bendera yang kami tancapkan saat turun dari truk sebagai penanda.

      Sialnya di bawah bendera itu kami melihat anak itu. Terduduk rileks sambil memandang ke pemandangan kota di arah jurang. Anak panda itu yang harus kami temukan karena hanya tinggal beberapa ekor di dunia ini. Anak panda itu penyebab terlukanya timku. Aku berlari senang manghampiri anak panda itu, sementara rekan-rekan hanya menatapku tersenyum dan tetap berjalan santai. Tepat di tengah jalan kudengar suara klakson truk penjemput kami dari arah kananku. Kulihat ke sebelah kanan dan truk itu sudah berjarak 2 jari dari tubuhku melaju dengan kencang. Tubuhku terhempas tertabrak truk penjemput kami sendiri. Mulutku serasa asin amis saat aku terkapar di tanah. Kulihat darah mengalir di aspal jalan itu berasal dari tubuhku. Dingin dan gelap.  

NB: Selesai dibaca Bowo tanggal 3 Januari 2016, pukul 16.13.

Ditulis oleh Rezza Abdurrahman Ibnu Aziz

No comments:

Post a Comment