Segera kami kemasi barang untuk
segera bergegas pergi. Satu tas masing-masing dari kami dirasa cukup. Teriknya
siang ini membuat kami sedikit gentar untuk memulai perjalanan. Namun, yah,
sudahlah, tidak ada banyak pilihan bagi kami. Kami harus segera menemukan anak
itu. Tim 5 orang mungkin akan mempermudah pencarian.
Kami
berangkat dengan truk dan diturunkan tepat di mana anak itu terakhir terlihat
dan lantas menghilang tiba-tiba. Di tepi jalan dimana ada jurang di satu sisi,
dan bukit tinggi terjal di sisi lainnya. Kami menyusun rencana tepat di tepi
jala sepi tersebut, tak lupa kami tancapkan bendera oranye sebagai check point. Berlindung dibalik bayangan
bukit dari panasnya matahari siang itu dengan suguhan pemandangan perkotaan
yang nampak jelas dari sisi jurang.
Kami
putuskan untuk tidak berpencar mengingat minimnya pengetahuan kami tentang
daerah ini dan kurangnya infrastruktur yang memadahi jika terjadi sesuatu pada
kami saat tersesat. Kami membagi daerah pencarian menjadi dua, turun jurang,
dan naik susuri bukit. Kami sepakat agar Nyoman menjadi pendahulu untuk turun
jurang, memasang pengaman dan peralatan yang dibutuhkan, disusul dengan Fadil
yang akan membawa turun semua barang-barang yang kami bawa, kemudian Christi,
Yin dan aku menyusul.
Menuruni
jurang sudah kami mulai, beberapa pepohonan yang tumbuh di lahan vertikal
memungkinkan anak itu tersangkut. Sehingga kami memperlebar area penjelajahan
di permukaan vertikal. Butuh tenaga Ekstra, bahkan untuk tiga laki-laki
sekalipun. Yin dan Christi menjaga pos pengamatan bergelantungan di tebing
dengan teropong dan melihat sekeliling.
Setelah
15 menit pencarian, Nyoman memutuskan untuk turun ke bawah memeriksa dasar
jurang. Setengah jalan Nyoman turun, kami mendengar teriakan Christi.
Pandanganku cepat mengarah ke arah tempat mereka bergelantungan, tidak kulihat
Yin disana. Nyoman berteriak memanggil namaku. Kulihat ke arah suara Nyoman
berasal, tepat di atasnya Yin tersangkut sebuah akar dan tangannya berdarah
hebat. Formasi kami kacau, Fadil melempar kotak P3Knya ke arah Nyoman, dengan
sigap ditangkap dan ia keluarkan apa yang perlu untuk menolong cidera yang
dialami Yin. Aku rapling cepat ke arah Yin tersangkut dan segera meraih safety
beltnya untuk kukaitkan. Kini dari jarak dekat aku jelas melihat bahwa
pendarahan itu memang luka parah, luka terbuka di lengan kanan bawahnya.
Suasana
semakin panik, kuinstruksikan seluruh tim turun ke bawah jurang bersama semua
barang-barang. Kubawa Yin turun perlahan dan kemudian diberikan pertolongan
pertama oleh Nyoman. Wajah Yin nampak shock dan kesakitan, kami berikan morphin
secukupnya agar rasa sakit berkurang. Namun itu beresiko mengurangi
kesadarannya dan pastinya menghambat misi pencarian. Kami baringkan Yin di
tandu darurat untuk kemudian berdiskusi untuk menentukan langkah selanjutnya.
Ditengah
diskusi, tanpa kami sangka Yin sudah berdiri di sisi tandu dengan teropong dan
berteriak.
"Itu anaknya disana ! di
bukit !". Sontak kurebut teropong Yin untuk melihat ke arah bukit,
teman-teman lain juga melihat ke atas dengan teropong. Kemudian Nyoman
berteriak
"Dia disana ! di sisi bukit
!". Kulihat arah pandang Nyoman dan mengikuti arah pandangnya untuk
melihat ke arah itu berharap anak itu terlihat. Belum sempat melihatnya, Fadil
mendorong tubuhku cepat dan teropongku jatuh.
Tubuh
Fadil tertimpa sebuah batang pohon, tepat di depan mataku. Batang itu jatuh
dari tepi jalan di atas jurang. Telungkup dengan batang pohon besar menindih di
atas punggungnya, tubuhnya tidak terluka, namun keningnya berdarah. Evakuasi cepat
kami lakukan dan pertolongan pertama dari Nyoman segera dilakukan. Mengejutkan,
dengan satu tangan terluka dan teknik khusus, Yin sudah mendaki setengah lereng
jurang.
"Yin !!" seru Fadil
dengan nada emosi.
Tidak
ada pilihan, kami menyusul Yin yang semakin jauh ke atas. Setibanya di jalan
raya terjadi pertengkaran antar kawan Yin dengan Fadil yang jelas ku abaikan.
Otakku terlalu sibuk berfikir apa yang harus kami lakukan dengan suasana yang
makin sore di tepi jalan ini. Christi melakukan hal yang serupa denganku,
sementara Nyoman sibuk merapikan barang-barang. Dilemparkan sebuah tongkat ke
arahku oleh Nyoman.
“Anak itu di atas bukit, aku
melihatnya dari teropong” sembari melemparkan tongkat kedua.
“Aku juga melihatnya tadi.
Sekarang kita sudah disini, yang kita bisa hanya mengejar anak itu ke atas
bukit” jawab Christi sambil menggendong tas carrier nya dan mengambil satu
tongkat dan bergegas mendaki bukit.
Masih
dengan wajah bertengkar dan tanpa sepatah kata, Fadil dan Yin masing-masing
mengambil satu tongkat dari Nyoman dan lantas menuju ke atas bukit.
Meninggalkan Nyoman yang berwajah bingung menghadapi tingkah mereka berdua yang
sama-sama sedang terluka. Kutepuk pundak Nyoman dan berkata “Masih ada satu tongkat
untukku dan satu untukmu. Mereka tidak bisa selamat tanpa kita berdua.” Kamipun
menyusul dan turut mendaki bukit.
Sudah
lebih setengah jam kami mendaki mengikuti ingatan kami tentang posisi anak itu,
kami mencoba memperlebar penyisiran dengan berjalan berjajar. Namun masih nihil
juga. Sesekali kami saling menatap kiri kanan ke rekan sebelah kami namun
respon mereka hanya geleng kepala. Bahkan hingga kami tiba dipuncak Bukit kami
tak mendapat hasil. Nyoman dan Christi terlihat lelah dan pucat, mereka beristirahat
bersandar di sebuah batu besar. Sisanya melihat sekitar dengan teropong.
Berdiri
dari sandarannya, Nyoman dan Christi bergegas menuju sebuah asap di sebelah
Timur. Terlihat api kecil menyala di semak-semak. Sebagai pecinta alam, mereka
mungkin berinisiatif untuk memadamkan api itu. Entah kenapa tindakan sederhana
mereka menarik perhatianku dari teropong dan pengamatanku. Namun aku kembali
fokus ke pengamatanku, dan terdengar suara ledakan kecil beruntun. Ternyata
asap itu berasal dari bubuk mesiu yang menjadi penyulut api kecil di semak itu.
Nyoman
dan Christi terluka, luka bakar di kedua telapak tangan mereka. Segera
kuambilkan Hydrocortison di medical kit dan kuoleskan pada luka mereka dan
kuperban rapat dengan kasa. Sementara itu Fadil dan Yin memadamkan api yang
sudah kehabisan mesiunya yang sudah meletup tak bersisa. Aku masih tak habis
fikir bagaimana bisa ada bubuk mesiu di atas bukit yang hijau alami ini. Kami
berkumpul melingkar dan kulihat hanya tubuhku satu-satunya yang tak diperban.
Tiba-tiba
HT berbunyi. “Regu penyelamat harap segera
kembali ke basecamp, misi dibatalkan karena sudah mencapai batas tempo.
Diulangi, regu penyelamat kembali ke basecamp. Ganti”. “Roger Pak, kami segera merapat”
jawabku. Jelas tanpa aba-aba kami turun kembali ke jalan agar truk bisa kembali
menjemput kami di tempat kami diturunkan. Menuruni bukit terasa begitu mudah dan
lancar setelah semua perjuangan di lereng dan bukit tadi. Sebentar saja kami sudah
bisa melihat jalan dan bendera yang kami tancapkan saat turun dari truk sebagai
penanda.
Sialnya
di bawah bendera itu kami melihat anak itu. Terduduk rileks sambil memandang ke
pemandangan kota di arah jurang. Anak panda itu yang harus kami temukan karena
hanya tinggal beberapa ekor di dunia ini. Anak panda itu penyebab terlukanya
timku. Aku berlari senang manghampiri anak panda itu, sementara rekan-rekan
hanya menatapku tersenyum dan tetap berjalan santai. Tepat di tengah jalan
kudengar suara klakson truk penjemput kami dari arah kananku. Kulihat ke sebelah
kanan dan truk itu sudah berjarak 2 jari dari tubuhku melaju dengan kencang.
Tubuhku terhempas tertabrak truk penjemput kami sendiri. Mulutku serasa asin amis
saat aku terkapar di tanah. Kulihat darah mengalir di aspal jalan itu berasal
dari tubuhku. Dingin dan gelap.
Ditulis oleh Rezza Abdurrahman Ibnu Aziz
No comments:
Post a Comment